BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh
muatan makna “baik” dan “damai”.
Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat”
untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran. kerukunan Indonesia, jelas mengacu pada suatu interaksi damai, rukun,
tentram dalam lingkup masyarakat Indonesia itu sendiri dalam ragam budaya,
bangsa, ras, suku, agama, dan sebagainya dengan berlandaskan pancasila sebagai
ideologinya. Kerukunan pada umumnya merupakan tujuan yang ingin
diwujudkan oleh setiap manusia baik secara individu maupun kelompok, karena
dengan kerukunan akan mempermudah dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan,
maka “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat
manusia. Namun apabila melihat kenyataan, ketika sejarah kehidupan manusia
generasi pertama keturunan Adam yakni Qabil dan Habil yang berselisih dan
bertengkar dan berakhir dengan terbunuhnya sang adik yaitu Habil; maka apakah
dapat dikatakan bahwa masyarakat generasi pertama anak manusia bukan masyarakat
yang rukun? Apakah perselisihan dan pertengkaran yang terjadi saat ini adalah
mencontoh nenek moyang kita itu? Atau perselisihan dan pertengkaran memang
sudah sehakekat dengan kehidupan manusia sehingga dambaan terhadap “kerukunan”
itu ada karena “ketidakrukunan” itupun sudah menjadi kodrat dalam kodrat
manusia.
Kebutuhan untuk berkelompok ini merupakan naluri
yang alamiah, sehingga kemudian muncullah ikatan-ikatan - bahkan pada manusia
purba sekalipun. Kita mengenal adanya ikatan keluarga, ikatan kesukuan, dan
pada manusia modern adanya ikatan profesi, ikatan negara, ikatan bangsa, hingga
ikatan peradaban dan ikatan agama. Juga sering kita dengar adanya ikatan berdasarkan
kesamaan species, yaitu sebagai homo erectus (manusia), atau bahkan ikatan
sebagai sesama makhluk Allah.
1.2 Tujuan
1.
Mengetahui pengertian ukhuwah Islamiyah
2. Mengetahui klasifikasi Ukhuwah
3. Petunjuk Al-Qur’an
mengenai Ukhuwah
4. Mengetahui Kasus Kemunduran Ukhuwah Islamiyah
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Ukhwah
Istilah
ukhuwah Islamiyah pada hakikatnya bukan bermakna persaudaraan antara orang-orang Islam, melainkan
cenderung memiliki arti sebagai persaudaraan yang
didasarkan pada ajaran Islam atau persaudaraan yang bersifat Islami.
Cakupan
ukhuwah Islamiyah di sini bukan hanya mengenai hubungan sesama umat Islam, tetapi juga menyangkut
interaksi dengan umat non muslim, bahkan dengan makhluk Allah lainnya. Seorang pemilik kuda misalnya, tidak
boleh membebani kudanya dengan beban
yang melampaui batas kewajaran. Dengan demikian, ukhuwah Islamiyah juga mengajarkan pada kita bagaimana
memperlakukan makhluk Allah lainnya dengan lembut
dan tidak semena-mena, dengan menekankan aspek perikemanusiaan dan kasih sayang terhadap tumbuhan maupun
hewan.
2.2 Klasifikasi
Ukhuwah
Berikut ini merupakan
intisari beberapa ayat suci yang menggambarkan pembagian
jenis-jenis ukhuwah:
1.
Sungguh bahwa Allah telah menempatkan manusia secara keseluruhan sebagai Bani
Adam dalam kedudukan yang mulia, walaqad
karramna bani Adam (QS 17:70).
2. Manusia diciptakan
Allah SWT dengan identitas yang berbeda-beda agar mereka saling mengenal dan saling
memberi manfaat antara yang satu dengan yang lain (QS 49:13).
·
Tiap-tiap umat diberi
aturan dan jalan yang berbeda, padahal andaikata Allah menghendaki, Dia dapat
menjadikan seluruh manusia tersatukan dalam kesatuan umat. Allah SWT
menciptakan perbedaan itu untuk member peluang berkompetisi secara sehat dalam
menggapai kebajikan, fastabiqul khairat (QS
5:48).
·
Sabda Rasul, seluruh
manusia hendaknya menjadi saudara antara yang satu dengan yang lain, wakunu ibadallahi ikhwana (Hadist
Bukhari).
Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an dan
hadist sekurang-kurangnya memperkenalkan empat macam ukhuwah, yakni:
·
Ukhuwah ‘ubudiyyah, ialah
persaudaraan yang timbul dalam lingkup sesama makhluk yang tunduk kepada Allah.
·
Ukhuwah insaniyyah atau
basyariyyah, yakni persaudaraan karena sama-sama memiliki kodrat sebagai
manusia secara keseluruhan (persaudaraan antarmanusia, baik itu seiman maupun
berbeda keyakinan).
·
Ukhuwah wataniyyah wa an
nasab, yakni persaudaraan yang didasari keterikatan keturunan dan kebangsaan.
·
Ukhuwah diniyyah, yakni
persaudaraan karena seiman atau seagama.
Keempatnya
dilandasi prinsip ukhuwah Islamiyah. Sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya, hal ini memiliki makna persaudaraan yang dijalin secara Islami
(berdasarkan syariat Islam).
2.3
Petunjuk Al-Qur’an mengenai Ukhuwah
Proses berlangsungnya atau bagaimana
diterapkannya ukhuwah ini tentunya tak lepas dari persamaan yang dimiliki
antarpihak sebagai faktor penunjang yang secara signifikan membentuk
persaudaraan. Semakin banyak persamaan yang ada, baik kesamaan rasa maupun
kesamaan cita-cita atau target capaian, maka ukhuwah yang terjalin cenderung
menguat. Ukhuwah umumnya melahirkan aksi solidaritas, dapat berupa aksi yang
positif dan negatif. Contoh ukhuwah yang melatarbelakangi sebuah aksi positif
yakni ketika terjadi banjir misalnya, sebuah kelompok masyarakat yang
sebelumnya mungkin berselisih paham atau tidak akur antar anggotanya, dapat
timbul ukhuwah saat semuanya menjadi korban banjir. Banjir ini menyatukan
perasaan mereka, berupa rasa sama-sama menderita dan sepenanggungan. Kesamaan
rasa itulah yang kemudian memunculkan kesadaraan untuk saling membantu.
Sedangkan contoh ukhuwah yang berakibat aksi negatif ialah pemberontakan oleh
sekelompok orang terhadap pemerintahan, akibat rasa persaudaraan yang timbul
sesama mereka karena berbagai motif, seperti landasan atau paham Islam yang
melenceng sehingga menimbulkan tindakan pengeboman oleh kalangan teroris.
Di
dalam Al-Qur’an, terdapat penjelasan atau petunjuk mengenai pelaksanaan ukhuwah
sebagaimana mestinya, sehingga bentuk aksi yang negatif dapat terhindari.
Berikut adalah beberapa poin pedoman ukhuwah yang disebutkan dalam kitab suci
tersebut:
1. Tetaplah berkompetisi secara sehat dalam melakukan kebajikan,
meski berbeda agama, ideologi, maupun status (QS 5:48). Janganlah berpikir
untuk menjadikan manusia tersatukan dalam keseragaman, dengan memaksa orang
lain untuk berpendirian seperti kita misalnya, karena Allah menciptakan
perbedaan itu sebagai rahmat, untuk menguji siapa di antara umatNya yang
memberikan kontribusi terbesar dalam kebaikan.
2. Amanah atau tanggung jawab sebagai khalifah Alah di bumi harus
senantiasa dipelihara, mengingat manusia memiliki keharusan menegakkan
kebenaran dan keadilan (QS 38:26) serta menjaga keseimbangan lingkungan
alam (QS 30:41).
3.
Kuat
pendirian, namun tetap menghargai pendirian orang lain. Lakum dinukum waliyadin (QS 112:4), tidak perlu bertengkar dengan
asumsi bahwa kebenaran akan terbuka nanti di hadapan Allah (QS 42:15).
4.
Meski
terkadang kita berbeda ideologi dan pandangan, tetapi harus berusaha mencari
titik temu, kalimatin sawa,
tidak bermusuhan, seraya mengakui eksistensi masing-masing (QS 3:64).
5.
Tidak
mengapa bekerja sama dengan pihak yang berbeda pendirian, dalam
hal kemaslahatan umum, atas dasar saling menghargai eksistensi,
berkeadilan dan tidak saling menimbulkan kerugian (QS 60:8). Dalam hal
kebutuhan pokok (mengatasi kelaparan, bencana alam, wabah penyakit, dsb)
solidaritas sosial dilaksanakan tanpa memandang agama, etnik, atau
identitas lainya (QS 2:272).
6. Tidak memandang rendah (mengolok-olok) kelompok lain, tidak pula
meledek atau membenci mereka (QS 49:11).
Jika ada perselisihan diantara
kaum beriman, penyelesaian yang akan dirumuskan haruslah merujuk kepada
petunjuk Al Qur'an dan Sunnah Nabi (QS 4:59).
2.4. Masalah yang diangkat yaitu Kasus Kemunduran
Ukhuwah Islamiyah
Islam adalah
agama yang cinta perdamaian, tetapi akhir-akhir ini Islam diidentikan terorisme
dan kekerasan. Hal ini menjadi tantangan para ulama di Indonesia menghadapi
gerakan terorisme bukan hanya untuk mengembalikan citra islam yang diidentikkan
dengan kekerasan, tapi juga bagaimana mengurangi aksi-aksi kekerasan. Mengingat
terorisme adalah dampak dari kekeliruan memahami teks-teks agama disertai
konteks kebijakan global negara-negara barat yang tidak adil, maka program
melawan kekerasan itu tidak hanya diarahkan pada pelurusan terhadap paham
keagamaan kaum muslim, tetapi juga harus berupaya menciptakan tatanan global
yang adil.
Genderang perang
melawan kekerasan sampai pada titik tertentu menjadikan Islam sebagai pusat
perhatian masyarakat international. Hal ini disebabkan dua hal yaitu: kekerasan
membuat masyarakat dihantui rasa takut dan agama Islam dijadikan pembenar atas
aksi-aksi kekerasan. Tentu pandangan ini menyebabkan masyarakat barat
menganggap Islam mengajarkan kekerasan dan terorisme. Tentu pandangan masyarakat barat ini membuat
"sakit hati" kaum muslim. Padahal Islam mengajarkan sikap sopan
santun dan berbuat baik pada semua seorang, kecuali yang memusuhi agama Islam.
Mayoritas masyarakat muslim Indonesia ramah, dan santun. Makanya di masa lalu
Islam masuk Indonesia dengan jalan yang damai, tidak masuk dengan jalan
peperangan seperti di tempat lain di dunia.
Makanya sangat lucu kalau Islam diidentikkan dengan kekerasan dan
terorisme. Apalagi kalau itu dikaitkan dengan keadaan umat Islam Indonesia yang
sangat ramah dan santun. Jelas tuduhan bahwa Islam adalah agama yang keras dan
identik dengan terorisme tidak berdasar. Mungkin hanya karena ulah sekelompok
oknum tertentu yang menamakan gerakan Islam yang radikal, maka Islam dikatakan
teroris. Sungguh kesimpulan yang tidak berdasar dan hanya sebuah rekayasa
wacana yang sangat mendiskreditkan Islam itu sendiri.
Mestinya kalangan pelaku teror menganggap bahwa jalan kekerasan merupakan
pilihan melawan ketidakadilan barat atas kaum muslim, namun menurut Syafii
Maarif radikalisme umumnya berakhir dengan malapetaka dan bunuh diri. Sebab,
prinsip kearifan dan lapang dada yang diajarkan agama tidak lagi dihiraukan
dalam mengatur langkah dan strategi. Sejarah perjuangan Rasul yang pahit dan
getir, tapi ditempuh dengan ketabahan, seharusnya menginsafkan umat Islam bahwa
cara-cara radikal-emosional akan membawa kita kepada kegagalan dan kesalahan.
2.5 Penyebab Masalah yaitu Terorisme di Indonesia
Penggunaan terminology Islam dan jihad sebagai landasan pembenaran atas
aksi-aksi kekerasan oleh sekelompok umat Islam hampir saja menjerumuskan dunia
pada teori Clash of civilization-nya Samuel P.Huntington. Jika tidak segera
diatasi melalui dialog peradaban yang intensif prediksi ini akan kian
mengerucut pada sikap saling curiga. Kemajuan suatu peradaban akan dianggap
sebagai ancaman, bukan tantangan. Karena anggapan sebagai ancaman itu, maka
persoalan akan dihadapi dengan kekerasan. Konteks ini pula yang mendorong
kalangan moderat untuk terus-menerus menyelenggarakan forum-forum dialog antar
tokoh agama dan pemerintahan.
Din Syamsudin menegaskan bahwa radikalisme tidak dibenarkan dalam agama.
Islam tak membenarkan tindakan kekerasan tersebut yang kerap memakan korban
orang-orang yang tak berdosa Baratpun kerap mencitrakan Islam sebagai teroris.
Padahal, selama ini umat Islam selalu mengecam tindakan kekerasan yang
dilakukan sekelompok umat Islam sendiri. Din menekankan pentingnya dialog
Islam-Barat. Dialog yang dilakukan harus dalam posisi yang sepandan, Tak ada
pihak yang dianggap superior maupun inferior.
Teorisme adalah tindakan yang membuat rasa takut menyebar. Noordin M.Top
merupakan simbol gembong teroris yang paling diincar negara (polisi) akibat
ulahnya yang kerap melakukan pemboman diberbagai tempat. Namun negara pun
melakukan kesalahan yang cukup fatal. negara menyebarkan rasa takut lebih
massif lagi dengan mengawasi ceramah ramadhan di semua masjid Indonesia. Pengawasan ini membuat umat
islam tidak leuasa membangun nuansa islam dibulan suci ini.
Mungkin tadinya strategi ini adalah skema menyerang (opensif) yang selama
ini negara cukup bersabar bertahan (defensif). Namun justru kebijakan
pengawasan ini secara langsung atau tidak langsung telah menyudutkan umat Islam
secara keseluruhan sebagai biang terorisme. Hari-hari ini di media-media dibangun
stigma bahwa para teroris yang dibunuh polisi itu dikenal oleh tetangganya
sebagai orang yang ramah dan santun. Pesan politik dibalik statemen ini adalah
mempropagandakan ditengah-tengah masyarakat hati-hati terhadap orang yang ramah
dan santun.
Padahal budaya
ramah dan santun adalah budaya yang Islami. Masalahnya adalah terkesan adanya
sumber statemen tunggal itu dari tetangganya, bukan dari keluarga korban atau
bahkan dari korban sendiri. Polisi main hakim sendiri dengan tidak memberikan
kesempakatan pada mereka yang jadi korban untuk mengungkap argument dibalik
tindakannya. Disini tampak bahwa sumber klarifikasi cuma-cuma: polisi dan
tetangga itu berstatemen by desain?
Tindakan
pengawasan polisi ini terlalu berlebihan, karena dapat berpotensi untuk memprovokasi
umat Islam. Tindakan ini membawa ke suasana masa lalu, bagai menarik mundur
sejarah cerah masa depan bangsa kemasa kelam orde baru. Cirinya mirip: umat
Islam menjadi korban, media dikendalikan, militer (polisi) diperalat negara
untuk kepentingan pihak tertentu.
Polisi adalah
alat negara. Pertanyaannya siapakah yang mempermainkan alat ini? Tampaknya
tidak baik kita berspekulasi. Yang pasti arus keluar masuk keuangan polisi
harus diaudit. Karena untuk kerja pengintaian masjid-masjid selama 30 hari ramadhan
tidak mungkin sudah dianggarkan APBN sebelumnya. Adakah titipan dana asing
masuk ke dalam arus kas polisi. Dan adakah permainan tingkat tinggi di antara
para pemegang alat negara ini? Begitu pula sketsa-sketsa wajah yang dilakukan
polisi menunjukkan bahwa polisi jauh lebih kenal dimana teroris itu berada.
Tapi kenapa yang tidak dibuatkan sketsanya malah menjadi korban. Lantas adakah
Noordin M. Top itu? Tokoh yang by desain rekayasa?
Dalam
pengembaraannya Noordin M.Top melanglang buana menebar teror. Noordin M. Top
juga sebagai ketua pelaksana merangkap bagian pendanaan, penyedia bahan
peledak, dan tenaga bom bunuh diri. Noordin M. Top digambarkan dengan sososk
setinggi 173 senti meter, berbadan gempal, dan berkulit kuning cerah. Laki-laki
Johor, Malaysia 11Agustus 1969, ini bercambang . Logat bicaranya kental Melayu.
Tas kecil selalu menemaninya dalam beraktivitas. Sampai tulisan ini ditulis
Noordin M.Top tetap menjadi buronan aparat nomor wahid dan masyarakat yang bisa
memberi tahu keberadaannya akan mendapat kado istemewa dari aparat kepolisian
berupa uang satu milyar.
Ini menunjukan bahwa kelompok Noordin M Top ini
termasuk jaringan baru terorisme di Indonesia. Karena itulah pasca kematian
Azhari bukanlah akhir drama terorisme di Indonesia. Aksi terorisme akan melanda
negeri ini selama Israel masih bercokol dibumi Palestina dan ketidakadilan
Barat terhadap dunia Islam, serta ketidakmampuan aparat menangkap otak aksi
terorisme di Indonesia. Orang seperti Imam Samudra, Noordi M.Top, mendiang
Azhari dan lain-lain bukan otak terorisme di Indonesia. Mereka hanyalah pelaku
lapangan yang otak-otaknya ada diluar negeri dan diduga didalangi oleh Al-Qaeda.
2.6 Solusi dari Permasalahan
1. Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah
perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir
keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah
dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang
berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai sejarah konvensional
dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya,
sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai sejarah baru (new history).
Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai sejarah sosial (social
history) sebagai bandingan dari sejarah politik (political history). Penerapan
sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat
relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para
penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi
berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada gilirannya
mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di antara
para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir
bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan
terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi,
revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang
perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama
yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat
beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan
dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang
dipandang sebagai sebuah negara Kristen, telah berubah menjadi negara yang
secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu,
juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar
perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik,
bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu?ketika terjadi perubahan-perubahan
politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis? pertikaian dan konflik
sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak
mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature
utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari
pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang
secara longgar dapat disebut sebagai non-agama. Bahkan terjadi juga pertukaran
yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui
dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di
Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan
secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi
penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara
damai.[4]
2.
Bersikap Optimis
Walaupun
berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling
pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu
bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme
dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.
Paling
tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama,
pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog
antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di
dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN
dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga
telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur
jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan
paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga
bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di
Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme
agama dan kerukunan antarpenganutnya.
Kedua,
para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru
dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan,
baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat
dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita
dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para
pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput
sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau
jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman
keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah
kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik
peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman
(intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan
ajaran agama.
Ketiga,
masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau
provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta
dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik
tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin
teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana
wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion)
dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin
agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita
untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar
teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini
bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya
kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi
dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan
mitra daripada sebagai lawan.[5]
Selain
itu Untuk menghindari perpecahan di kalangan
umat islam dan memantapkan ukhuwah islamiyah para ahli menetapkan tiga konsep,yaitu
:
1.
Konsep tanawwul al ’ibadah (keragaman cara
beribadah). Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi dalam
pengamalan agama yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua
praktek keagamaan selama merujuk kepada Rasulullah. Keragaman cara beribadah
merupakan hasil dari interpretasi terhadap perilaku Rasul yang ditemukan dalam
riwayat (hadits).
2.
Konsep al mukhtiu fi al ijtihadi lahu
ajrun(yang salah dalam berijtihad pun mendapatkan ganjaran). Konsep ini
mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia
tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah , walaupun hasil
ijtihad yang diamalkannya itu keliru. Di sini perlu dicatat bahwa wewenang
untuk menentukan yang benar dan salah bukan manusia, melainkan Allah SWT yang
baru akan kita ketahui di hari akhir. Kendati pun demikian, perlu pula
diperhatikan orrang yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya
diikuti, haruslah orang yang memiliki otoritaskeilmuan yang disampaikannya
setelah melalui ijtihad.
3.
Konsep la hukma lillah qabla ijtihadi al
mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan
seorang mujtahid). Konsep ini dapat kita pahami bahwa pada persoalan-persoalan
yang belum ditetapkan hukumnya secara pasti, baik dalam al-quran maupun sunnah
Rasul, maka Allah belum menetapkan hukumnya. Oleh karena itu umat
islam,khususnya para mujtahid, dituntut untuk menetapkannya melalui ijtihad.
Hasil dari ijtihad yang dilakukan itu merupakan hukum Allah bagi masing-masing
mujtahid, walaupun hasil ijtihad itu berbeda-beda.