Senin, 07 Oktober 2013

TUGAS MAKALAH AGAMA “Kerukunan Antar Agama”


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan  makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran. kerukunan Indonesia, jelas mengacu pada suatu interaksi damai, rukun, tentram dalam lingkup masyarakat Indonesia itu sendiri dalam ragam budaya, bangsa, ras, suku, agama, dan sebagainya dengan berlandaskan pancasila sebagai ideologinya. Kerukunan pada umumnya merupakan tujuan yang ingin diwujudkan oleh setiap manusia baik secara individu maupun kelompok, karena dengan kerukunan akan mempermudah dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Namun apabila melihat kenyataan, ketika sejarah kehidupan manusia generasi pertama keturunan Adam yakni Qabil dan Habil yang berselisih dan bertengkar dan berakhir dengan terbunuhnya sang adik yaitu Habil; maka apakah dapat dikatakan bahwa masyarakat generasi pertama anak manusia bukan masyarakat yang rukun? Apakah perselisihan dan pertengkaran yang terjadi saat ini adalah mencontoh nenek moyang kita itu? Atau perselisihan dan pertengkaran memang sudah sehakekat dengan kehidupan manusia sehingga dambaan terhadap “kerukunan” itu ada karena “ketidakrukunan” itupun sudah menjadi kodrat dalam kodrat manusia.
Kebutuhan untuk berkelompok ini merupakan naluri yang alamiah, sehingga kemudian muncullah ikatan-ikatan - bahkan pada manusia purba sekalipun. Kita mengenal adanya ikatan keluarga, ikatan kesukuan, dan pada manusia modern adanya ikatan profesi, ikatan negara, ikatan bangsa, hingga ikatan peradaban dan ikatan agama. Juga sering kita dengar adanya ikatan berdasarkan kesamaan species, yaitu sebagai homo erectus (manusia), atau bahkan ikatan sebagai sesama makhluk Allah.



1.2       Tujuan
            1. Mengetahui pengertian ukhuwah Islamiyah
            2. Mengetahui klasifikasi Ukhuwah
            3. Petunjuk Al-Qur’an mengenai Ukhuwah
            4. Mengetahui Kasus Kemunduran Ukhuwah Islamiyah
           



















BAB 2
PEMBAHASAN
2.1      Pengertian Ukhwah
                        Istilah ukhuwah Islamiyah pada hakikatnya bukan bermakna persaudaraan           antara orang-orang Islam, melainkan cenderung memiliki arti sebagai persaudaraan     yang didasarkan pada ajaran Islam atau persaudaraan yang bersifat Islami.
                        Cakupan ukhuwah Islamiyah di sini bukan hanya mengenai hubungan sesama       umat Islam, tetapi juga menyangkut interaksi dengan umat non muslim, bahkan dengan        makhluk Allah lainnya. Seorang pemilik kuda misalnya, tidak boleh membebani kudanya      dengan beban yang melampaui batas kewajaran. Dengan demikian, ukhuwah Islamiyah            juga mengajarkan pada kita bagaimana memperlakukan makhluk Allah lainnya dengan           lembut dan tidak semena-mena, dengan menekankan aspek perikemanusiaan dan kasih             sayang terhadap tumbuhan maupun hewan.
2.2       Klasifikasi Ukhuwah
                        Berikut ini merupakan intisari beberapa ayat suci yang menggambarkan pembagian jenis-jenis ukhuwah:
1. Sungguh bahwa Allah telah menempatkan manusia secara keseluruhan sebagai Bani Adam dalam kedudukan yang mulia, walaqad karramna bani Adam (QS 17:70).
2. Manusia diciptakan Allah SWT dengan identitas yang berbeda-beda agar mereka                     saling mengenal dan saling memberi manfaat antara yang satu dengan yang lain (QS    49:13).
·         Tiap-tiap umat diberi aturan dan jalan yang berbeda, padahal andaikata Allah menghendaki, Dia dapat menjadikan seluruh manusia tersatukan dalam kesatuan umat. Allah SWT menciptakan perbedaan itu untuk member peluang berkompetisi secara sehat dalam menggapai kebajikan, fastabiqul khairat (QS 5:48).
·         Sabda Rasul, seluruh manusia hendaknya menjadi saudara antara yang satu dengan yang lain, wakunu ibadallahi ikhwana (Hadist Bukhari).
Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an dan hadist sekurang-kurangnya memperkenalkan empat macam ukhuwah, yakni:
·         Ukhuwah ‘ubudiyyah, ialah persaudaraan yang timbul dalam lingkup sesama makhluk yang tunduk kepada Allah.
·         Ukhuwah insaniyyah atau basyariyyah, yakni persaudaraan karena sama-sama memiliki kodrat sebagai manusia secara keseluruhan (persaudaraan antarmanusia, baik itu seiman maupun berbeda keyakinan).
·         Ukhuwah wataniyyah wa an nasab, yakni persaudaraan yang didasari keterikatan keturunan dan kebangsaan.
·         Ukhuwah diniyyah, yakni persaudaraan karena seiman atau seagama.
Keempatnya dilandasi prinsip ukhuwah Islamiyah. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, hal ini memiliki makna persaudaraan yang dijalin secara Islami (berdasarkan syariat Islam).
2.3  Petunjuk Al-Qur’an mengenai Ukhuwah
            Proses berlangsungnya atau bagaimana diterapkannya ukhuwah ini tentunya tak lepas dari persamaan yang dimiliki antarpihak sebagai faktor penunjang yang secara signifikan membentuk persaudaraan. Semakin banyak persamaan yang ada, baik kesamaan rasa maupun kesamaan cita-cita atau target capaian, maka ukhuwah yang terjalin cenderung menguat. Ukhuwah umumnya melahirkan aksi solidaritas, dapat berupa aksi yang positif dan negatif. Contoh ukhuwah yang melatarbelakangi sebuah aksi positif yakni ketika terjadi banjir misalnya, sebuah kelompok masyarakat yang sebelumnya mungkin berselisih paham atau tidak akur antar anggotanya, dapat timbul ukhuwah saat semuanya menjadi korban banjir. Banjir ini menyatukan perasaan mereka, berupa rasa sama-sama menderita dan sepenanggungan. Kesamaan rasa itulah yang kemudian memunculkan kesadaraan untuk saling membantu. Sedangkan contoh ukhuwah yang berakibat aksi negatif ialah pemberontakan oleh sekelompok orang terhadap pemerintahan, akibat rasa persaudaraan yang timbul sesama mereka karena berbagai motif, seperti landasan atau paham Islam yang melenceng sehingga menimbulkan tindakan pengeboman oleh kalangan teroris.
Di dalam Al-Qur’an, terdapat penjelasan atau petunjuk mengenai pelaksanaan ukhuwah sebagaimana mestinya, sehingga bentuk aksi yang negatif dapat terhindari. Berikut adalah beberapa poin pedoman ukhuwah yang disebutkan dalam kitab suci tersebut:
1.      Tetaplah berkompetisi secara sehat dalam melakukan kebajikan, meski berbeda agama, ideologi, maupun status (QS 5:48). Janganlah berpikir untuk menjadikan manusia tersatukan dalam keseragaman, dengan memaksa orang lain untuk berpendirian seperti kita misalnya, karena Allah menciptakan perbedaan itu sebagai rahmat, untuk menguji siapa di antara umatNya yang memberikan kontribusi terbesar dalam kebaikan.
2.      Amanah atau tanggung jawab sebagai khalifah Alah di bumi harus senantiasa dipelihara, mengingat manusia memiliki keharusan menegakkan kebenaran dan keadilan (QS 38:26) serta menjaga keseimbangan lingkungan alam  (QS 30:41).
3.      Kuat pendirian, namun tetap menghargai pendirian orang lain. Lakum dinukum waliyadin (QS 112:4), tidak perlu bertengkar dengan asumsi bahwa kebenaran akan terbuka nanti di hadapan Allah (QS 42:15).
4.      Meski terkadang kita berbeda ideologi dan pandangan, tetapi harus berusaha mencari titik temu, kalimatin sawa, tidak bermusuhan, seraya  mengakui eksistensi masing-masing (QS 3:64).
5.      Tidak mengapa bekerja sama dengan pihak yang berbeda pendirian, dalam hal kemaslahatan umum, atas dasar saling menghargai eksistensi, berkeadilan dan tidak saling menimbulkan kerugian (QS 60:8). Dalam hal kebutuhan pokok (mengatasi kelaparan, bencana alam, wabah penyakit, dsb) solidaritas sosial dilaksanakan tanpa memandang agama, etnik, atau identitas lainya (QS 2:272).
6.      Tidak memandang rendah (mengolok-olok) kelompok lain, tidak pula meledek atau membenci mereka (QS 49:11).
Jika ada perselisihan diantara kaum beriman, penyelesaian yang akan dirumuskan haruslah merujuk kepada petunjuk Al Qur'an dan Sunnah Nabi (QS 4:59).
2.4. Masalah yang diangkat yaitu Kasus Kemunduran Ukhuwah Islamiyah
Islam adalah agama yang cinta perdamaian, tetapi akhir-akhir ini Islam diidentikan terorisme dan kekerasan. Hal ini menjadi tantangan para ulama di Indonesia menghadapi gerakan terorisme bukan hanya untuk mengembalikan citra islam yang diidentikkan dengan kekerasan, tapi juga bagaimana mengurangi aksi-aksi kekerasan. Mengingat terorisme adalah dampak dari kekeliruan memahami teks-teks agama disertai konteks kebijakan global negara-negara barat yang tidak adil, maka program melawan kekerasan itu tidak hanya diarahkan pada pelurusan terhadap paham keagamaan kaum muslim, tetapi juga harus berupaya menciptakan tatanan global yang adil.
Genderang perang melawan kekerasan sampai pada titik tertentu menjadikan Islam sebagai pusat perhatian masyarakat international. Hal ini disebabkan dua hal yaitu: kekerasan membuat masyarakat dihantui rasa takut dan agama Islam dijadikan pembenar atas aksi-aksi kekerasan. Tentu pandangan ini menyebabkan masyarakat barat menganggap Islam mengajarkan kekerasan dan terorisme. Tentu pandangan masyarakat barat ini membuat "sakit hati" kaum muslim. Padahal Islam mengajarkan sikap sopan santun dan berbuat baik pada semua seorang, kecuali yang memusuhi agama Islam. Mayoritas masyarakat muslim Indonesia ramah, dan santun. Makanya di masa lalu Islam masuk Indonesia dengan jalan yang damai, tidak masuk dengan jalan peperangan seperti di tempat lain di dunia.
Makanya sangat lucu kalau Islam diidentikkan dengan kekerasan dan terorisme. Apalagi kalau itu dikaitkan dengan keadaan umat Islam Indonesia yang sangat ramah dan santun. Jelas tuduhan bahwa Islam adalah agama yang keras dan identik dengan terorisme tidak berdasar. Mungkin hanya karena ulah sekelompok oknum tertentu yang menamakan gerakan Islam yang radikal, maka Islam dikatakan teroris. Sungguh kesimpulan yang tidak berdasar dan hanya sebuah rekayasa wacana yang sangat mendiskreditkan Islam itu sendiri.
Mestinya kalangan pelaku teror menganggap bahwa jalan kekerasan merupakan pilihan melawan ketidakadilan barat atas kaum muslim, namun menurut Syafii Maarif radikalisme umumnya berakhir dengan malapetaka dan bunuh diri. Sebab, prinsip kearifan dan lapang dada yang diajarkan agama tidak lagi dihiraukan dalam mengatur langkah dan strategi. Sejarah perjuangan Rasul yang pahit dan getir, tapi ditempuh dengan ketabahan, seharusnya menginsafkan umat Islam bahwa cara-cara radikal-emosional akan membawa kita kepada kegagalan dan kesalahan.
2.5       Penyebab Masalah yaitu Terorisme di Indonesia
Penggunaan terminology Islam dan jihad sebagai landasan pembenaran atas aksi-aksi kekerasan oleh sekelompok umat Islam hampir saja menjerumuskan dunia pada teori Clash of civilization-nya Samuel P.Huntington. Jika tidak segera diatasi melalui dialog peradaban yang intensif prediksi ini akan kian mengerucut pada sikap saling curiga. Kemajuan suatu peradaban akan dianggap sebagai ancaman, bukan tantangan. Karena anggapan sebagai ancaman itu, maka persoalan akan dihadapi dengan kekerasan. Konteks ini pula yang mendorong kalangan moderat untuk terus-menerus menyelenggarakan forum-forum dialog antar tokoh agama dan pemerintahan.
Din Syamsudin menegaskan bahwa radikalisme tidak dibenarkan dalam agama. Islam tak membenarkan tindakan kekerasan tersebut yang kerap memakan korban orang-orang yang tak berdosa Baratpun kerap mencitrakan Islam sebagai teroris. Padahal, selama ini umat Islam selalu mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok umat Islam sendiri. Din menekankan pentingnya dialog Islam-Barat. Dialog yang dilakukan harus dalam posisi yang sepandan, Tak ada pihak yang dianggap superior maupun inferior.
Teorisme adalah tindakan yang membuat rasa takut menyebar. Noordin M.Top merupakan simbol gembong teroris yang paling diincar negara (polisi) akibat ulahnya yang kerap melakukan pemboman diberbagai tempat. Namun negara pun melakukan kesalahan yang cukup fatal. negara menyebarkan rasa takut lebih massif lagi dengan mengawasi ceramah ramadhan di semua masjid Indonesia. Pengawasan ini membuat umat islam tidak leuasa membangun nuansa islam dibulan suci ini.
Mungkin tadinya strategi ini adalah skema menyerang (opensif) yang selama ini negara cukup bersabar bertahan (defensif). Namun justru kebijakan pengawasan ini secara langsung atau tidak langsung telah menyudutkan umat Islam secara keseluruhan sebagai biang terorisme. Hari-hari ini di media-media dibangun stigma bahwa para teroris yang dibunuh polisi itu dikenal oleh tetangganya sebagai orang yang ramah dan santun. Pesan politik dibalik statemen ini adalah mempropagandakan ditengah-tengah masyarakat hati-hati terhadap orang yang ramah dan santun.
Padahal budaya ramah dan santun adalah budaya yang Islami. Masalahnya adalah terkesan adanya sumber statemen tunggal itu dari tetangganya, bukan dari keluarga korban atau bahkan dari korban sendiri. Polisi main hakim sendiri dengan tidak memberikan kesempakatan pada mereka yang jadi korban untuk mengungkap argument dibalik tindakannya. Disini tampak bahwa sumber klarifikasi cuma-cuma: polisi dan tetangga itu berstatemen by desain?
Tindakan pengawasan polisi ini terlalu berlebihan, karena dapat berpotensi untuk memprovokasi umat Islam. Tindakan ini membawa ke suasana masa lalu, bagai menarik mundur sejarah cerah masa depan bangsa kemasa kelam orde baru. Cirinya mirip: umat Islam menjadi korban, media dikendalikan, militer (polisi) diperalat negara untuk kepentingan pihak tertentu.
Polisi adalah alat negara. Pertanyaannya siapakah yang mempermainkan alat ini? Tampaknya tidak baik kita berspekulasi. Yang pasti arus keluar masuk keuangan polisi harus diaudit. Karena untuk kerja pengintaian masjid-masjid selama 30 hari ramadhan tidak mungkin sudah dianggarkan APBN sebelumnya. Adakah titipan dana asing masuk ke dalam arus kas polisi. Dan adakah permainan tingkat tinggi di antara para pemegang alat negara ini? Begitu pula sketsa-sketsa wajah yang dilakukan polisi menunjukkan bahwa polisi jauh lebih kenal dimana teroris itu berada. Tapi kenapa yang tidak dibuatkan sketsanya malah menjadi korban. Lantas adakah Noordin M. Top itu? Tokoh yang by desain rekayasa?
Dalam pengembaraannya Noordin M.Top melanglang buana menebar teror. Noordin M. Top juga sebagai ketua pelaksana merangkap bagian pendanaan, penyedia bahan peledak, dan tenaga bom bunuh diri. Noordin M. Top digambarkan dengan sososk setinggi 173 senti meter, berbadan gempal, dan berkulit kuning cerah. Laki-laki Johor, Malaysia 11Agustus 1969, ini bercambang . Logat bicaranya kental Melayu. Tas kecil selalu menemaninya dalam beraktivitas. Sampai tulisan ini ditulis Noordin M.Top tetap menjadi buronan aparat nomor wahid dan masyarakat yang bisa memberi tahu keberadaannya akan mendapat kado istemewa dari aparat kepolisian berupa uang satu milyar.
Ini menunjukan bahwa kelompok Noordin M Top ini termasuk jaringan baru terorisme di Indonesia. Karena itulah pasca kematian Azhari bukanlah akhir drama terorisme di Indonesia. Aksi terorisme akan melanda negeri ini selama Israel masih bercokol dibumi Palestina dan ketidakadilan Barat terhadap dunia Islam, serta ketidakmampuan aparat menangkap otak aksi terorisme di Indonesia. Orang seperti Imam Samudra, Noordi M.Top, mendiang Azhari dan lain-lain bukan otak terorisme di Indonesia. Mereka hanyalah pelaku lapangan yang otak-otaknya ada diluar negeri dan diduga didalangi oleh Al-Qaeda.

2.6      Solusi dari Permasalahan
1. Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai sejarah konvensional dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai sejarah baru (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai sejarah sosial (social history) sebagai bandingan dari sejarah politik (political history). Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah negara Kristen, telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu?ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis? pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai non-agama. Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.[4]
2. Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.
Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antarpenganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.[5]
Selain itu Untuk menghindari perpecahan di kalangan umat islam dan memantapkan ukhuwah islamiyah para ahli menetapkan tiga konsep,yaitu :
1.      Konsep tanawwul al ’ibadah (keragaman cara beribadah). Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi dalam pengamalan agama yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua praktek keagamaan selama merujuk kepada Rasulullah. Keragaman cara beribadah merupakan hasil dari interpretasi terhadap perilaku Rasul yang ditemukan dalam riwayat (hadits).
2.      Konsep al mukhtiu fi al ijtihadi lahu ajrun(yang salah dalam berijtihad pun mendapatkan ganjaran). Konsep ini mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah , walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya itu keliru. Di sini perlu dicatat bahwa wewenang untuk menentukan yang benar dan salah bukan manusia, melainkan Allah SWT yang baru akan kita ketahui di hari akhir. Kendati pun demikian, perlu pula diperhatikan orrang yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah orang yang memiliki otoritaskeilmuan yang disampaikannya setelah melalui ijtihad.
3.      Konsep la hukma lillah qabla ijtihadi al mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan seorang mujtahid). Konsep ini dapat kita pahami bahwa pada persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya secara pasti, baik dalam al-quran maupun sunnah Rasul, maka Allah belum menetapkan hukumnya. Oleh karena itu umat islam,khususnya para mujtahid, dituntut untuk menetapkannya melalui ijtihad. Hasil dari ijtihad yang dilakukan itu merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihad itu berbeda-beda.

1 komentar:

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.